Minggu, 02 Januari 2011

materi kuliah ilmu nutrisi ruminansia

Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 99
Unsur mineral merupakan salah satu
komponen yang sangat diperlukan
oleh makhluk hidup di samping karbohidrat,
lemak, protein, dan vitamin, juga
dikenal sebagai zat anorganik atau kadar
abu. Sebagai contoh, bila bahan biologis
dibakar, semua senyawa organik akan
rusak; sebagian besar karbon berubah
menjadi gas karbon dioksida (CO2),
hidrogen menjadi uap air, dan nitrogen
menjadi uap nitrogen (N2). Sebagian besar
mineral akan tertinggal dalam bentuk abu
dalam bentuk senyawa anorganik sederhana,
serta akan terjadi penggabungan
antarindividu atau dengan oksigen sehingga
terbentuk garam anorganik (Davis
dan Mertz 1987).
Berbagai unsur anorganik (mineral)
terdapat dalam bahan biologi, tetapi tidak
atau belum semua mineral tersebut terbukti
esensial, sehingga ada mineral esensial
dan nonesensial. Mineral esensial yaitu
mineral yang sangat diperlukan dalam
proses fisiologis makhluk hidup untuk
membantu kerja enzim atau pembentukan
organ. Unsur-unsur mineral esensial dalam
tubuh terdiri atas dua golongan, yaitu
mineral makro dan mineral mikro. Mineral
makro diperlukan untuk membentuk
komponen organ di dalam tubuh. Mineral
mikro yaitu mineral yang diperlukan dalam
jumlah sangat sedikit dan umumnya
terdapat dalam jaringan dengan konsentrasi
sangat kecil. Mineral nonesensial
adalah logam yang perannya dalam tubuh
makhluk hidup belum diketahui dan
kandungannya dalam jaringan sangat
kecil. Bila kandungannya tinggi dapat
merusak organ tubuh makhluk hidup yang
bersangkutan. Di samping mengakibatkan
keracunan, logam juga dapat menyebabkan
penyakit defisiensi (McDonald et
al. 1988; Spears 1999; Inoue et al. 2002).
Tulisan ini menguraikan pentingnya
mineral mikro esensial dalam kehidupan
hewan. Sifat-sifat mineral seperti sifat
kimia, biokimia maupun proses biologis
dalam jaringan makhluk hidup, perlu
diketahui dalam upaya mendiagnosis
penyakit defisiensi mineral pada hewan.
BEBERAPA UNSUR MINERAL ESENSIAL MIKRO
DALAM SISTEM BIOLOGI DAN METODE
ANALISISNYA
Zainal Arifin
Balai Besar Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRAK
Mineral esensial adalah mineral yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk proses fisiologis, dan dibagi ke dalam
dua kelompok yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro dibutuhkan tubuh dalam jumlah besar, yang
terdiri atas kalsium, klorin, magnesium, kalium, fosforus, natrium, dan sulfur. Mineral mikro diperlukan tubuh
dalam jumlah kecil, seperti kobalt, tembaga, iodin, besi, mangan, selenium, dan seng. Keperluan optimum akan
berbagai mineral tersebut belum banyak diketahui dengan pasti, sedangkan mineral mikro dapat ditemukan pada
berbagai bagian tubuh walaupun dalam jumlah sedikit. Kekurangan (defisiensi) mineral, baik pada manusia maupun
hewan, dapat menyebabkan penyakit. Sebaliknya pemberian mineral esensial yang berlebihan dapat menimbulkan
gejala keracunan. Analisis kandungan mineral dalam jaringan biologik dengan metode spektrofotometri serapan
atom dapat mendiagnosis kasus defisiensi atau keracunan mineral.
Kata kunci: Mineral esensial, defisiensi, toksisitas
ABSTRACT
Some microminerals which are essential for biological system and its analysis methods
Essential minerals are important for physiological process in biological life, and divided into two groups that are
macrominerals and microminerals. Macrominerals are required by a body in gross, consisted of calcium, chlor,
magnesium, potassium, phosphorus, sodium, and sulfur. Microminerals are needed in few like cobalt, copper,
iodine, iron, manganese, selenium, and zinc. Optimum needs of those various minerals have not been exactly
known yet, while microminerals can be found in almost all over the body although only in a small amount. Lacking
(deficiency) of both minerals in human being or in animal can cause disease. On the contrary, high doses of the
essential minerals can also cause toxicity. Mineral analysis by atomic absorption spectrophotometry in the
biological tissues can diagnose the deficiency or toxicity of the minerals.
Keywords: Essential minerals, deficiency, toxicity
100 Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008
PENGGOLONGAN
MINERAL DALAM TUBUH
Berdasarkan kegunaannya dalam aktivitas
kehidupan, mineral (logam) dibagi menjadi
dua golongan, yaitu mineral logam esensial
dan nonesensial. Logam esensial
diperlukan dalam proses fisiologis hewan,
sehingga logam golongan ini merupakan
unsur nutrisi penting yang jika kekurangan
dapat menyebabkan kelainan proses
fisiologis atau disebut penyakit defisiensi
mineral. Mineral ini biasanya terikat
dengan protein, termasuk enzim untuk
proses metabolisme tubuh, yaitu kalsium
(Ca), fosforus (P), kalium (K), natrium (Na),
klorin (Cl), sulfur (S), magnesium (Mg),
besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), mangan
(Mn), kobalt (Co), iodin (I), dan selenium
(Se). Logam nonesensial adalah golongan
logam yang tidak berguna, atau belum
diketahui kegunaannya dalam tubuh
hewan, sehingga hadirnya unsur tersebut
lebih dari normal dapat menyebabkan
keracunan. Logam tersebut bahkan sangat
berbahaya bagi makhluk hidup, seperti
timbal (Pb), merkuri (Hg), arsenik (As),
kadmium (Cd), dan aluminium (Al)
(Gartenberg et al. 1990; Darmono 1995;
Spears 1999).
Berdasarkan banyaknya, mineral dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu mineral
makro dan mineral mikro. Mineral makro
diperlukan atau terdapat dalam jumlah
relatif besar, meliputi Ca, P, K, Na, Cl, S,
dan Mg. Mineral mikro ialah mineral yang
diperlukan dalam jumlah sangat sedikit
dan umumnya terdapat dalam jaringan
dengan konsentrasi sangat kecil, yaitu Fe,
Mo, Cu, Zn, Mn, Co, I, dan Se (McDonald
et al. 1988; Spears 1999; Tabel 1).
BEBERAPA MINERAL
MIKRO ESENSIAL DALAM
TUBUH
Tembaga (Cu) merupakan mineral mikro
karena keberadaannya dalam tubuh
sangat sedikit namun diperlukan dalam
proses fisiologis. Di alam, Cu ditemukan
dalam bentuk senyawa sulfida (CuS).
Walaupun dibutuhkan tubuh dalam jumlah
sedikit, bila kelebihan dapat mengganggu
kesehatan atau mengakibatkan keracunan.
Namun bila terjadi kekurangan Cu dalam
darah dapat menyebabkan anemia yang
merupakan gejala umum, pertumbuhan
terhambat, kerusakan tulang, depigmentasi
rambut dan bulu, pertumbuhan bulu
abnormal, dan gangguan gastrointestinal
(Davis dan Mertz 1987; Baker et al. 1991;
Clark et al. 1993).
Besi (Fe) merupakan mineral makro
dalam kerak bumi, tetapi dalam sistem
biologi tubuh merupakan mineral mikro.
Pada hewan, manusia, dan tanaman, Fe
termasuk logam esensial, bersifat kurang
stabil, dan secara perlahan berubah
menjadi ferro (Fe II) atau ferri (Fe III).
Kandungan Fe dalam tubuh hewan bervariasi,
bergantung pada status kesehatan,
nutrisi, umur, jenis kelamin, dan spesies
(Dhur et al. 1989; Graham 1991; Beard et
al. 1996). Besi dalam tubuh berasal dari
tiga sumber, yaitu hasil perusakan sel-sel
darah merah (hemolisis), dari penyimpanan
di dalam tubuh, dan hasil penyerapan
pada saluran pencernaan (Darmono 1995;
King 2006). Dari ketiga sumber tersebut,
Fe hasil hemolisis merupakan sumber
utama. Bentuk-bentuk senyawa yang ada
ialah senyawa heme (hemoglobin, mioglobin,
enzim heme) dan poliporfirin
(tranfirin, ferritin, dan hemosiderin). Sebagian
besar Fe disimpan dalam hati, limpa,
dan sumsum tulang (Brock dan Mainou-
Fowler 1986; Desousa 1989; Brown et al.
2004).
Kobalt (Co) merupakan unsur mineral
esensial untuk pertumbuhan hewan, dan
merupakan bagian dari molekul vitamin
B12. Konversi Co dari dalam tanah menjadi
vitamin B12 pada makanan hingga dicerna
hewan nonruminansia kadang-kadang
disebut sebagai siklus kobalt. Ternak ruminansia
(sapi, domba, dan kambing) memakan
hijauan pakan, di mana tanaman
menyerap kobalt dari dalam tanah dan
bakteri-bakteri yang ada di dalam lambung
(rumen) menggunakan kobalt dalam penyusunan
vitamin B12. Hewan menyerap
vitamin B12 dan mendistribusikannya ke
seluruh jaringan tubuh (Davis dan Mertz
1987; Mills 1987; Darmono 1995). Semua
bangsa hewan membutuhkan vitamin
sehingga secara tidak langsung memerlukan
kobalt. Ternak babi dan unggas
tidak mempunyai mikroflora dalam saluran
pencernaan untuk mengubah kobalt dalam
ransum sehingga harus mendapat vitamin
B12 yang cukup dalam ransum (Lee et al.
1999).
Iodin (I) diperlukan tubuh untuk
membentuk tiroksin, suatu hormon dalam
kelenjar tiroid. Tiroksin merupakan hormon
utama yang dikeluarkan oleh kelenjar
tiroid. Setiap molekul tiroksin mengandung
empat atom iodin (Darmono 1995).
Sebagian besar iodin diserap melalui usus
halus, dan sebagian kecil langsung masuk
ke dalam saluran darah melalui dinding
lambung. Sebagian iodin masuk ke dalam
kelenjar tiroid, yang kadarnya 25 kali lebih
tinggi dibanding yang ada dalam darah
(Mills 1987). Namun bila jumlah yang
sedikit ini tidak terdapat dalam bahan
pakan maka ternak akan kekurangan iodin.
Lebih dari setengah iodin dalam tubuh terdapat
pada kelenjar perisai (tiroid). Meskipun
sebagian besar iodin tubuh terdapat
dalam kelenjar tiroid, iodin juga ditemukan
dalam kelenjar ludah, lambung, usus halus,
kulit, rambut, kelenjar susu, plasenta, dan
ovarium (Puls 1994; Stangl et al. 2000).
Seng (Zn) ditemukan hampir dalam
seluruh jaringan hewan. Seng lebih
banyak terakumulasi dalam tulang
dibanding dalam hati yang merupakan
organ utama penyimpan mineral mikro.
Jumlah terbanyak terdapat dalam jaringan
epidermal (kulit, rambut, dan bulu), dan
sedikit dalam tulang, otot, darah, dan enzim
(Richards 1989; Puls 1994; Brown et al.
2004). Seng merupakan komponen penting
dalam enzim, seperti karbonik-anhidrase
dalam sel darah merah serta karboksi
peptidase dan dehidrogenase dalam hati.
Tabel 1. Nutrisi mineral esensial dan jumlahnya dalam tubuh hewan.
Mineral makro g/kg Mineral mikro mg/kg
Kalsium (Ca) 15 Besi (Fe) 20−80
Fosforus (P) 10 Seng (Zn) 10−50
Kalium (K) 2 Tembaga (Cu) 1−5
Natrium (Na) 1,60 Molibdenum (Mo) 1−4
Klorin (Cl) 1,10 Selenium (Se) 1−2
Sulfur (S) 1,50 Iodin (I) 0,30−0,60
Magnesium (Mg) 0,40 Mangan (Mn) 0,20−0,60
Kobalt (Co) 0,02−0,10
Sumber: McDonald et al. (1988).
Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 101
Sebagai kofaktor, seng dapat meningkatkan
aktivitas enzim. Seng dalam protein
nabati kurang tersedia dan lebih sulit
digunakan tubuh daripada seng dalam
protein hewani. Hal tersebut mungkin
disebabkan adanya asam fitrat yang
mampu mengikat ion-ion logam (Mills
1987; Puls 1994; Sharma et al. 2003).
PERAN MINERAL MIKRO
ESENSIAL DALAM TUBUH
Secara garis besar, mineral esensial dapat
dikelompokkan menurut fungsi metaboliknya
atau fungsinya dalam proses metabolisme
zat makanan. Dalam tubuh, mineral
ada yang bergabung dengan zat organik,
ada pula yang berbentuk ion-ion bebas.
Tiap unsur esensial mempunyai fungsi
yang berbeda-beda (Tabel 2), bergantung
pada bentuk atau senyawa kimia serta
tempatnya dalam cairan dan jaringan
tubuh (Puls 1994).
Tembaga merupakan unsur esensial
yang bila kekurangan dapat menghambat
pertumbuhan dan pembentukan hemoglobin.
Tembaga sangat dibutuhkan dalam
proses metabolisme, pembentukan hemoglobin,
dan proses fisiologis dalam tubuh
hewan (Richards 1989; Ahmed et al. 2002).
Tembaga ditemukan dalam protein plasma,
seperti seruloplasmin yang berperan
dalam pembebasan besi dari sel ke plasma.
Tembaga juga merupakan komponen dari
protein darah, antara lain eritrokuprin,
yang ditemukan dalam eritrosit (sel darah
merah) yang berperan dalam metabolisme
oksigen (Darmono 1995; 2001). Selain ikut
berperan dalam sintesis hemoglobin,
tembaga merupakan bagian dari enzimenzim
dalam sel jaringan. Tembaga berperan
dalam aktivitas enzim pernapasan,
sebagai kofaktor bagi enzim tirosinase dan
sitokrom oksidase. Tirosinase mengkristalisasi
reaksi oksidasi tirosin menjadi
pigmen melanin (pigmen gelap pada kulit
dan rambut). Sitokrom oksidase, suatu
enzim dari gugus heme dan atom-atom
tembaga, dapat mereduksi oksigen (Davis
dan Mertz 1987; Mills 1987; Sharma et al.
2003).
Zat besi dalam tubuh berperan
penting dalam berbagai reaksi biokimia,
antara lain dalam memproduksi sel darah
merah. Sel ini sangat diperlukan untuk
mengangkut oksigen ke seluruh jaringan
tubuh. Zat besi berperan sebagai pembawa
oksigen, bukan saja oksigen pernapasan
menuju jaringan, tetapi juga dalam jaringan
atau dalam sel (Brock dan Mainou-
Fowler 1986; King 2006). Zat besi bukan
hanya diperlukan dalam pembentukan
darah, tetapi juga sebagai bagian dari
beberapa enzim hemoprotein (Dhur et al.
1989). Enzim ini memegang peran penting
dalam proses oksidasi-reduksi dalam sel.
Sitokrom merupakan senyawa heme
protein yang bertindak sebagai agens
dalam perpindahan elektron pada reaksi
oksidasi-reduksi di dalam sel. Zat besi
mungkin diperlukan tidak hanya untuk
pigmentasi bulu merah yang diketahui
mengandung ferrum, tetapi juga berfungsi
dalam susunan enzim dalam proses
pigmentasi (Desousa 1989; Beard et al.
1996; Lee et al. 1999).
Kobalt dalam pakan domba dan sapi
dapat ditemukan dalam vitamin B12. Sapi
dan biri-biri tidak membutuhkan vitamin
B12 dari pakan, karena rumen flora dapat
mensintesis vitamin tersebut (Darmono
1995). Apabila vitamin B12 diberikan dalam
pakan, sebagian besar vitamin akan rusak
dan tidak berguna bagi ternak. Apabila
kobalt tersebut disuntikkan atau diberikan
melalui pakan maka kebutuhan kobalt
untuk vitamin B12 tercukupi (Kennedy et
al. 1991; Stangl et al. 2000).
Iodin merupakan komponen esensial
tiroksin dan kelenjar tiroid. Tiroksin berperan
dalam meningkatkan laju oksidasi
dalam sel sehingga meningkatkan Basal
Metabolic Rate (BMR). Tiroksin juga
berperan menghambat proses fosforilasi
oksidatif sehingga pembentukan Adenosin
Trifosfat (ATP) berkurang dan lebih
banyak dihasilkan panas. Tiroksin juga
mempengaruhi sintesis protein (Mills
1987; Darmono 1995). Iodin secara perlahan-
lahan diserap dari dinding saluran
pencernaan ke dalam darah. Penyerapan
tersebut terutama terjadi dalam usus halus,
meskipun dapat berlangsung pula dalam
lambung. Dalam usus, iodin bebas atau
iodat mengalami reduksi menjadi iodida
sebelum diserap tubuh. Dalam peredaran
darah, iodida menyebar ke dalam cairan
ekstraseluler seperti halnya klorida. Iodida
yang masuk ke dalam kelenjar tiroid
dengan cepat dioksidasi dan diubah menjadi
iodin organik melalui penggabungan
dengan tiroksin. Proses tersebut terjadi
pula secara terbatas dalam ovum (Graham
1991; Puls 1994; Lee et al. 1999).
Seng merupakan komponen penting
pada struktur dan fungsi membran sel,
sebagai antioksidan, dan melindungi
tubuh dari serangan lipid peroksidase.
Seng berperan dalam sintesis dan transkripsi
protein, yaitu dalam regulasi gen.
Pada suhu tinggi, hewan banyak mengeluarkan
keringat dan seng dapat hilang
bersama keringat sehingga perlu penambahan
(Richards 1989; Ahmed et al. 2002).
Ikatan enzim seng yang merupakan katalis
reaksi hidrolitik melibatkan enzim pada
bagian aktif yang bertindak ”super
efisien”. Enzim karbonik anhidrase mengkatalisis
CO2 dalam darah, enzim karboksi
peptidase mengkatalisis protein dalam
prankreas, enzim alkalin fosfatase meng-
Tabel 2. Peran mineral mikro esensial dalam tubuh.
Mineral Fungsi Sumber
Besi (Fe) Membentuk hemoglobin dan Telur, tanah, makanan hijauan
mioglobin, bagian dari susunan dan butiran, injeksi besi,
enzim babi, FeSO4
Tembaga (Cu) Eritropoiesis, susunan Bahan makanan dan CuSO4
Co enzim, fungsi jantung yang (0,25−0,50%) CuSO4 ditambahkan
baik, pigmentasi bulu, reproduksi pada garam
Iodin (I) Membentuk hormon trioksin, Garam beriodin (kalium iodida
sebagai komponen esensial pada garam, minyak ikan)
tiroksin dan kelenjar tiroksin
Kobalt (Co) Bagian dari vitamin B12 Pelet kobalt (untuk ruminansia),
0,50 ppm garam kobalt
ditambahkan pada ransum
(injeksi vitamin B12 untuk
menghilangkan defisiensi kobalt)
Seng (Zn) Carbonic anhydrase ZnO atau ZnCO3 ditambahkan
pada ransum pakan hijauan
Sumber: McDonald et al. (1988).
102 Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008
hindrolisis fosfat dalam beberapa jaringan,
dan enzim amino peptidase menghidrolisis
peptida dalam ginjal. Seng juga berperan
dalam menstabilkan struktur protein, seperti
insulin, alkohol dehidrogenase hati,
alkalin fosfat, dan superoksida dismutase
(Fraker et al. 1986; Brown et al. 2002).
PENYAKIT DEFISIENSI
MINERAL MIKRO
ESENSIAL
Penyakit defisiensi mineral banyak dijumpai
pada ternak. Unsur mineral mikro
yang dibutuhkan ternak sering tidak tercukupi
dalam pakan. Kandungan unsur
tersebut dalam tubuh sangat sedikit, terutama
pada hewan yang hidup liar dan
hewan yang digembalakan atau dikandangkan
namun dengan pengelolaan yang
kurang baik.
Gartenberg et al. (1990) melaporkan
bila tanah tempat hijauan pakan tumbuh
miskin unsur mineral maka ternak yang
mengkonsumsi hijauan tersebut akan
menunjukkan gejala defisiensi mineral.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
daerah yang kering dengan curah hujan
rendah, kandungan mineral dalam tanah
dan tanaman umumnya sangat rendah
(Prabowo et al. 1984; Chandra 1985).
Defisiensi mineral pada ternak dapat menimbulkan
gejala klinis yang spesifik
untuk setiap mineral, tetapi kadangkadang
gejala tersebut hampir mirip,
sehingga untuk menentukan diagnosis
penyakit defisiensi mineral perlu dilakukan
analisis kandungan mineral dalam darah
(Stuttle 1989; Graham 1991).
Penyakit akibat kekurangan unsur
tembaga ditemukan pada beberapa tempat
di dunia. Selain menyebabkan anemia,
kekurangan tembaga juga mengakibatkan
gangguan pada tulang, kemandulan,
depigmentasi pada rambut dan bulu,
gangguan saluran pencernaan, serta lesi
pada syaraf otak dan tulang belakang
(Graham 1991; Engle et al. 2001; Sharma
et al. 2003; Chung et al. 2004).
Penyakit defisiensi tembaga juga
disebut enzootik ataksia, yang ditemukan
pada anak domba di Australia. Falling
disease juga ditemukan di Australia, suatu
penyakit akibat defisiensi tembaga yang
menahun karena ternak mengkonsumsi
hijauan pakan yang kadar tembaganya
rendah (Clark et al. 1993; Chung et al.
2004). Penambahan garam tembaga sulfat
pada ransum dapat mencukupi kebutuhan
ternak serta mencegah pertumbuhan
aspergilosis pada pakan yang basah (Yost
et al. 2002).
Unsur besi merupakan komponen
utama dari hemoglobin (Hb), sehingga
kekurangan besi dalam pakan akan
mempengaruhi pembentukan Hb. Sel darah
merah muda (korpuskula) mengandung Hb
yang diproduksi dalam sumsum tulang
untuk mengganti sel darah merah yang
rusak. Dari sel darah merah yang rusak ini
besi dibebaskan dan digunakan lagi dalam
pembentukan sel darah merah muda (Cook
et al. 1992; Puls 1994; Inoue et al. 2002;
Brown et al. 2004). Anemia karena defisiensi
besi banyak ditemukan pada anak
babi yang dikandangkan dan tidak pernah
kontak dengan tanah. Gejala yang muncul
adalah nafsu makan berkurang dan
pertumbuhan terhambat (Beard et al.
1996). Kekurangan zat besi dapat disebabkan
oleh gangguan penyerapan besi dalam
saluran pencernaan. Bila cadangan besi
tidak mencukupi dan berlangsung terusmenerus
maka pembentukan sel darah
merah berkurang dan selanjutnya menurunkan
aktivitas tubuh (Cook et al. 1992).
Penyuntikan garam besi dapat mencegah
kekurangan besi pada ternak (Ahmed et
al. 2002).
Pada hewan ruminansia yang memakan
rumput yang kurang mengandung
unsur kobalt, gejala akan timbul beberapa
bulan kemudian, karena hewan memiliki
cadangan vitamin B12 dalam hati dan ginjal
sebagai sumber kobalt. Namun bila keadaan
ini terus berlanjut, ternak akan
mengalami defisiensi kobalt sehingga
nafsu makan berkurang, bobot badan
menurun, pika, anemia, dan akhirnya mati
(Graham 1991; Puls 1994; Stangl et al.
2000).
Para peneliti menduga kobalt memiliki
peran penting dalam pertumbuhan bakteri
dalam rumen. Vitamin B12 mengandung 4%
kobalt sebagai bagian esensial dari vitamin
tersebut. Penyebab utama defisiensi kobalt
pada ternak ruminansia adalah kekurangan
vitamin B12 karena sintesis vitamin tersebut
dalam rumen menurun (Hetzel dan
Dunn 1989; Kennedy et al. 1991). Kekurangan
kobalt hanya terjadi pada hewan
ruminansia. Gejalanya ialah hewan malas,
nafsu makan berkurang, bobot badan
menurun, lemah, anemia yang bersifat
normositik dan normokronis dan kemudian
mati (Graham 1991; Hussein et al. 1994;
Stangl et al. 1999). Pemberian pakan yang
mengandung kobalt dapat mencegah
kekurangan kobalt pada ternak (Puls 1994;
Ahmed et al. 2002).
Defisiensi iodin sering terjadi pada
anak sapi, anak domba, dan anak babi dari
induk yang ransumnya kekurangan iodin.
Hal ini sering terjadi pada daerah yang
tanahnya miskin iodin. Pada anak babi,
gejala yang timbul adalah bulu rontok,
badan lemah, kulit menebal, dan leher membengkak
(McDonald et al. 1988; Tabel 3).
Pada anak kuda gejalanya adalah tidak
dapat berdiri dan menyusu, serta pada
burung, ikan dan mamalia lain tiroidnya
membesar (Hetzel dan Dunn 1989; Graham
1991). Pada hewan yang kekurangan
Tabel 3. Defisiensi logam mikro esensial dalam tubuh.
Mineral Defisiensi Gejala
Besi (Fe) Anemia Diarrhea, kelelahan, nafsu makan hilang
Tembaga (Cu) Malnutrisi, anemia, Nafsu makan terganggu, pertumbuhan
neutropenia terhambat, diarrheaosteomalesi, rambut dan
bulu memucat, jalan ataxis
Iodin (I) Produksi tiroksin pada Pembesaran leher pada anak sapi dan domba,
glandula tiroid menurun, gondok, anak babi tanpa bulu dan anak domba
pembengkakan pada leher tanpa wol, anak sapi daya hidup tidak ada
Kobalt (Co) Defisiensi vitamin B12 Kehilangan nafsu makan, kelemahan,
kekurusan, bulu kasar, anemia,
kerusakan reproduksi
Seng (Zn) Penyakit genetik, stres Pertumbuhan terganggu, parakeratosis pada
traumatik, depresi babi, peradangan pada hidung dan mulut pada
imunitas anorexia anak sapi, ayam bulu kasar, daya tetes rendah
Sumber: McDonald et al. (1988).
Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 103
iodin, produksi tiroksin pada kelenjar tiroid
menurun, yang dicirikan oleh pembesaran
kelenjar tiroidea yang disebut goiter
endemis. Karena kelenjar tiroidea terdapat
pada leher maka pada hewan yang menderita
defisiensi iodin akan terjadi pembengkakan
pada leher. Penyakit ini dapat
mengganggu daya reproduksi akibat
fungsi tiroid menurun. Bila induk melahirkan
anak maka anak yang dilahirkan tidak
berbulu, lemah, dan mati muda (Graham
1991; Sandstead et al. 1998). Pemberian
pakan tambahan yang mengandung kobalt
dapat menghindarkan ternak dari kekurangan
kobalt (Puls 1994).
Defisiensi seng sering ditemukan
pada anak ayam, dengan gejala pertumbuhan
terganggu, tulang kaki memendek
dan menebal, sendi kaki membesar,
penyerapan makanan menurun, nafsu
makan hilang, dan dalam keadaan parah
menyebabkan kematian (Fraker et al. 1986;
Moulder dan Steward 1989; Darmono
1995). Pada babi, akibat defisiensi seng
yang penting adalah dermitis yang disebut
parakeratosis. Penyakit tersebut ditandai
dengan luka-luka pada kulit, pertumbuhan
terganggu, kelemahan, muntah-muntah,
dan kegatalan. Defisiensi seng pada anak
sapi ditandai dengan peradangan pada
hidung dan mulut, pembengkakan persendian,
dan parakeratosis (Mills 1987;
Darmono dan Bahri 1989). Di beberapa
daerah di Jawa, terutama pesisir pantai
utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, kandungan
Zn dalam tanah rendah, sehingga
ternak yang digembalakan di daerah
tersebut akan mengalami defisiensi seng
(Prabowo et al. 1984). Defisiensi seng
dapat mengganggu penghancuran mikroba
(ingestion) dan fagositosis, juga menghambat
penyembuhan luka. Hal ini dibuktikan
dengan meningkatnya kejadian
infestasi parasit cacing nematoda (Fraker
et al. 1986; Sandstead et al. 1998 ). Jika
cepat diobati dengan pemberian seng,
ternak akan kembali normal dalam waktu
2−3 hari (Darmono 1995).
KERACUNAN MINERAL
MIKRO ESENSIAL
Keracunan logam sering dijumpai pada
ternak akibat pencemaran lingkungan oleh
logam berat, seperti penggunaan pestisida,
pemupukan, dan pembuangan
limbah pabrik. Keracunan logam terutama
menyebabkan kerusakan jaringan. Beberapa
logam mempunyai sifat karsinogenik
(memacu pembentukan sel kanker) maupun
tetratogenik (bentuk organ salah)
(Darmono 2001). Daya racun logam dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara
lain kadar logam yang termakan, lamanya
ternak mengkonsumsi logam, umur,
spesies, jenis kelamin, kebiasaan makan,
kondisi tubuh, dan kemampuan jaringan
tubuh dalam mengkonsumsi logam
tersebut (Tokarnia et al. 2000).
Logam yang dapat meracuni ternak
meliputi logam esensial seperti Cu dan Zn
serta logam nonesensial seperti Hg, Pb,
Cd, dan As. Keracunan logam pada hewan
dapat terjadi melalui injeksi, air minum
maupun melalui pakan. Keracunan logam
mempengaruhi produksi, yaitu penurunan
bobot badan, hambatan pertumbuhan,
peka terhadap penyakit infeksi, dan kematian.
Di samping itu, residu logam dapat
menurunkan kualitas produk ternak (Puls
1994; Darmono 1995; 2001).
Walaupun tembaga merupakan
logam esensial, logam tersebut berpeluang
besar menimbulkan keracunan pada ternak
ruminansia terutama domba karena ternak
tersebut paling peka terhadap keracunan
tembaga. Keracunan tembaga terjadi bila
logam tersebut langsung kontak dengan
dinding usus sehingga menimbulkan
radang (gastroenteristis), tinja berbentuk
cair dan berwarna biru-kehijauan, ternak
menjadi stres dan akhirnya mati (Parada
et al. 1987; Baker et al. 1991; Darmono
2001; Yost et al. 2002). Menurut Bostwick
(1982), keracunan kronis atau fatal terjadi
bila domba mengkonsumsi 1,50 g Cu/ekor/
hari selama 30 hari. Keracunan kronis
bersumber dari pakan yang terkontaminasi
Cu atau kelebihan Cu yang disimpan dalam
hati. Keracunan kronis politogenus dapat
terjadi pada hewan yang merumput di
padang penggembalaan yang hijauannya
mengandung Cu normal (10−20 mg Cu/kg
berat kering), tetapi kandungan sulfatnya
berlebih dan atau kandungan molibdenum
(Mo) kurang (Tokarnia et al. 2000;
Darmono 2001).
Keracunan seng sering dijumpai
pada hewan yang hidup di daerah tercemar
atau dekat dengan limbah pabrik. Pada anak
kuda dan babi, keracunan seng menyebabkan
lamenes, antriftines, dan osteomalasea,
sedangkan pada kelinci menunjukkan
gejala nefrosis dan pada anak domba menyebabkan
fibrosis pankreas. Kuda yang
hidup di daerah pertambangan menunjukkan
gejala osteomalasea, kalkulis renalis,
dan proteinuria (Sandstead et al. 1998;
Brown et al. 2002). Eamens et al. (1984)
melaporkan bahwa anak kuda yang digembalakan
pada padang rumput yang
dekat daerah industri menunjukkan gejala
pembentukan tulang abnormal yaitu
pembesaran tulang.
METODE ANALISIS
MINERAL
Beberapa metode analisis logam telah
ditemukan, meliputi metode kualitatif
(untuk mengetahui ada tidaknya logam
dalam sampel) dan kuantitatif (untuk mengetahui
kandungan logam dalam sampel).
Metode sensitif dan spesifik merupakan
dasar dalam mengukur kadar logam pada
konsentrasi yang sangat rendah. Dengan
sensitivitas analisis yang tinggi akan
diketahui jenis logam dan pengaruhnya
terhadap sistem biologis hewan (Ewing
1990; Darmono 1995).
Alat Analisis
Alat yang digunakan untuk mengetahui
kandungan logam dalam sampel bergantung
pada jenis logam yang diperiksa
dan tingkat sensitivitas pengukuran yang
diperlukan. Umumnya logam diukur
dengan sistem atomisasi dan kalorimetri.
Spektrofotometri Serapan Atom
(SSA) merupakan salah satu teknik analisis
untuk mengukur jumlah unsur berdasarkan
jumlah energi cahaya yang
diserap oleh unsur tersebut dari sumber
cahaya yang dipancarkan. Prinsip kerja
alat ini berdasarkan penguapan larutan
sampel, kemudian logam yang terkandung
di dalamnya diubah menjadi atom bebas.
Atom tersebut mengabsorpsi radiasi dari
sumber cahaya yang dipancarkan dari
lampu katoda (hollow cathode lamp) yang
mengandung unsur yang akan dianalisis.
Banyaknya penyerapan radiasi kemudian
diukur pada panjang gelombang tertentu
menurut jenis logam.
Bahan yang Dianalisis
Jenis bahan yang dianalisis bermacammacam,
meliputi bahan nabati (tanaman,
bahan pakan dan pangan), bahan hewani
(daging, hati, ginjal, darah, rambut), serta
bahan air dan sedimen (air minum, air laut,
dan endapan laut). Pada dasarnya, metode
analisis logam pada bahan tersebut hampir
sama, tetapi caranya agak berbeda karena
104 Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008
komposisi kimia bahan tersebut berbeda;
misalnya bahan nabati banyak mengandung
selulosa, sedangkan bahan hewani
banyak mengandung unsur organik. Oleh
karena itu, ekstraksi atau digesti memerlukan
cara yang khusus untuk setiap
bahan maupun jenis logam (Ewing 1990;
Darmono 1995).
Bahan nabati, pakan, dan
pangan
Termasuk dalam bahan ini ialah daun,
rerumputan, sisa pakan, makanan, dan sebagainya.
Digesti atau ekstraksi dari bahan
tersebut dapat dilakukan dengan sistem
kering atau basah.
Digesti kering (pengabuan). Cawan
porselen yang bersih direndam dalam
HNO3 10% dan dibilas dengan akuades
lalu dikeringkan dan ditimbang. Selanjutnya
sampel dimasukkan ke dalamnya
dan ditimbang, lalu dikeringkan dalam
oven 60oC selama 3 hari. Sampel ditimbang
lagi dan dihitung berat keringnya. Berat
sampel diusahakan sekitar 3−5 g. Setelah
dingin, sampel dimasukkan ke dalam
furnase pada suhu 100oC dan perlahanlahan
dinaikkan sampai 550oC minimal
selama 8 jam. Sampel lalu didinginkan dan
dilarutkan dalam asam khlorida pekat 10
ml, lalu dipanaskan sampai volume tinggal
5 ml. Sampel lalu dilarutkan dalam HCl 10%,
kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur
melalui kertas saring Whatman 42 dengan
menggunakan corong plastik sampai
volume menjadi 50 ml, kemudian dianalisis
dengan menggunakan teknik SSA.
Digesti basah. Sampel dengan berat 2−5 g
dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer,
kemudian ditambahkan campuran HNO3
pekat: HClO4 = 4 : 1 sebanyak 10 ml dan
ditutup dengan gelas erlogi (1 malam), lalu
dipanaskan di atas hotplate pada suhu
115oC selama 6−8 jam sampai larutan
berwarna bening. Larutan hasil destruksi
lalu dimasukkan dalam labu ukur 10 ml dan
ditambah HNO3 10% sampai tanda batas.
Larutan tersebut siap untuk pengukuran
dengan SSA (Ewing 1990; Darmono 1995).
Bahan organ hewan dan
manusia
Yang termasuk dalam bahan ini antara lain
adalah jaringan hati, ginjal, dan daging.
Sampel dapat dalam bentuk kering atau
basah, tetapi dalam perhitungan harus
diberi keterangan berat kering atau berat
basah (Ewing 1990; Darmono 1995).
Digesti 1. Sampel dimasukkan dalam
cangkir porselen bersih kemudian
dikeringkan, ditambah 8 ml HNO3 pekat
kemudian dipanaskan di atas hotplate
pada suhu 75oC selama 3 jam atau lebih
dan dibiarkan mengering. Sampel lalu
dilarutkan dalam HNO3 10%, disaring
melalui kertas Whatman 42, dimasukkan
ke dalam gelas ukur sampai volume 50 ml,
kemudian dianalisis dengan menggunakan
SSA.
Digesti 2. Sampel dengan berat 2−5 g
dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer,
kemudian ditambahkan 10 ml HNO3 pekat
dan ditutup dengan gelas erlogi (1 malam),
lalu dipanaskan di atas hotplate pada suhu
115oC selama 6−8 jam sampai larutan
berwarna bening. Larutan hasil destruksi
dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml dan
ditambah HNO3 10% sampai tanda batas.
Larutan siap untuk dilakukan pengukuran
dengan SSA (Ewing 1990; Darmono 1995).
Bahan darah
Ada tiga bentuk sampel darah untuk
analisis logam, yaitu plasma, serum, dan
darah keseluruhan. Sampel dalam bentuk
plasma dan serum tidak perlu digesti dan
dapat langsung diencerkan. Untuk analisis
Ca dan Mg, semua sampel dilarutkan
dalam LaCl3 dan HCl dengan prosedur
sebagai berikut: 0,10 ml sampel dilarutkan
dalam 5 ml dari 1% LaCl3 dalam 0,10 M
HCl, kemudian dibaca dalam SSA. Untuk
analisis Cu dan Zn, prosedurnya sebagai
berikut: 2 ml sampel dilarutkan dalam 4 ml
akuabides kemudian dianalisis menggunakan
SSA dengan larutan standar Cu dan
Zn yang dilarutkan dalam gliserol 10%
(Osheim 1983; Darmono 1995).
Interpretasi Hasil
Dalam menginterpretasikan hasil analisis
kandungan logam dalam sampel, perlu
diketahui kandungan normal logam
tersebut. Jika kandungan logam esensial
pada sampel sangat rendah, diduga terjadi
penyakit defisiensi. Sebaliknya, bila
kandungan logam nonesensial melebihi
normal diduga terjadi keracunan.
Mendiagnosis Penyakit
Defisiensi
Diagnosis defisiensi logam biasanya
dilakukan dengan menganalisis serum
atau darah, yang mempunyai kriteria
kandungan tertentu pada masing-masing
hewan. Berdasarkan hasil penelitian,
penyakit defisiensi dan keracunan mineral
merupakan salah satu penghambat pertumbuhan
ternak. Oleh karena itu, upaya
penanggulangan penyakit tersebut adalah
dengan memberikan mineral tambahan
pada pakan dengan jumlah sesuai yang
diperlukan ternak. Namun, kandungan
mineral dalam tubuh ternak (serum) dan
pakan tambahan yang akan diberikan perlu
dievaluasi terlebih dahulu agar pemberian
mineral tersebut sesuai dengan yang
dibutuhkan ternak.
KESIMPULAN DAN SARAN
Mineral mikro esensial mempunyai peran
sangat penting dalam kelangsungan hidup
hewan. Kekurangan atau kelebihan mineral
mikro esensial dapat menyebabkan penyakit.
Penyakit defisiensi mineral serta
keracunan pada ternak, baik ruminansia
maupun nonruminansia, merupakan salah
satu kendala dalam perkembangan ternak.
Oleh karena itu, status mineral mikro perlu
diperhatikan, dan kadarnya dalam tubuh
hewan (serum) maupun pakan yang akan
diberikan dianalisis dengan menggunakan
SSA. Pemberian mineral mikro esensial
dalam pakan harus sesuai dengan kebutuhan
hewan atau ternak untuk mencegah
terjadinya penyakit defisiensi atau keracunan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, M.M.M., I.M.T. Fadlalla, and M.E.S.
Barri. 2002. Tropical Animal. Health and
Prod. 34(1): 75−80.
Baker, D.H., J. Odle, M.A. Frank, and T.M.
Wieland. 1991. Bioavailability of copper in
cupri oxide and in a copper-lysine complex.
Poult. Sci. 70: 177−178.
Beard, J.L., H. Dawson, and D.J. Pinero. 1996.
Iron metabolism: a comprehensive review.
Nutr. Rev. 54(10): 295−317.
Bostwick, J.L 1982. Copper toxicosis in sheep.
J. Am. Vet. Med. Ass. 180(4): 386−387.
Brock, J.H. and T. Mainou-Fowler. 1986. Iron
and immunity. Pro. Nutr. Soc. 45: 303.
Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 105
Ewing, G.W. 1990. Analytical Instrumentation
Handbook, 1st Edition, Marcel Dekker Inc.,
New York.
Fraker, P.J., M.E. Gershwin, R.A. Good, and P.
Ananda. 1986. Interrelationships between
zinc and immune function. Fed. Proc. 45:
1.474.
Gartenberg, P.K., L.R. Mcdowell, D. Rodriguez,
N. Wilkiinson, J.H. Conrat, and F.G. Martin.
1990. Evalution of trace mineral status of
ruminants in northeast Mexico. Livestock
Res. Rural Dev. 3(2): 1−6.
Graham, T.W. 1991. Trace element deficiencies
in cattle. Vet. Clin. N. Am.: Food Anim.
Pract. 7: 153−215.
Hetzel, B.S. and J.T. Dunn. 1989. The iodine
deficiency disodere: The nature and prevention.
Anim. Rev. of Natr. 9: 21−28.
Hussein, H.S., G.C. Fahey, Jr. B.W. Wolf, and L.
L. Berger. 1994. Effects of cobalt on in vitro
fiber digestion of forages and by products
containing fiber. J. Dairy Sci. 77: 3.432−
3.440.
Inoue, Y., T. Osawa, A. Matsui, Y. Asai, Y.
Murakami, T. Matsui, and H. Yano. 2002.
Changes of serum mineral concentration in
horses during exercise. Asian Aust. J. Anim.
Sci. 15(4): 531−536.
Kennedy, D.G., F.P.M. O’harte, W.J. Blanchower,
and D.A. Rice. 1991. Sequential changes in
propionate metabolism during the development
of cobalt/vitamin B12 deficiency in
sheep. Biol. Trace Elem. Res. 28: 233−241.
King, M.W. 2006. Clinical aspect of iron
metabolism. J. Med. Biochem. 15(9): 1−4.
Lee, J., D.G. Master, C.L. White, N.D. Grace,
and G.J. Judson. 1999. Current issues in trace
element nutrition of grazing livestock in
Australia and New Zealand. Aust. J. Agric.
Res. 50(8): 1.341−1.354.
McDonald, P., R.A. Edwards, and J.F.D. Greenhalgh.
1988. Animal Nutrition. John Willey
and Sons Inc., New York. p. 96−105.
Mills, C.F. 1987. Biochemical and physiologic
indicators of mineral status in animals:
copper, cobalt, and zinc. J. Anim. Sci. 65:
1.702−1.711.
Moulder, K. and M.W. Steward. 1989. Experimental
zinc-deficiency – Effects on cellular
responses and the affinity of humoral
antibody. Clin. Exp. Immunol. 77: 269.
Osheim, D.L. 1983. Atomic absorption determination
of serum cupper, collaborative
study. J. Assoc. Anal. Chem. 66(5): 1.140−
1.142.
Parada, R.S., S. Gonzales, and E. Berquest. 1987.
Industrial pollution with copper and other
heavy metals in a beef cattle ranch. Vet.
Hum. Toxicol. 29(2): 122−126.
Prabowo, A., J.E. Van Eys, I.W. Mathius, M.
Rangkuti, and W.I. Johnson. 1984. Studies
on the mineral nutrition on sheep in West
Java. Balai Penelitian Ternak, Bogor. p. 25.
Puls, R. 1994. Mineral Levels and Animal Health:
Diagnostic Data. Second edition. Sherpa
International Clearbrook, BC.
Richards, M.P. 1989. Recent developments in
trace element metabolism and function: Role
of metallothionein in copper and zinc metabolism.
J. Nutr. 119: 1, 62.
Sandstead, H.H., J.G. Penland, N.W. Alcock, H.H.
Dayal, X.C. Chen, and J.S. Li. 1998. Effects
of repletion with zinc and other micronutrients
on neuropsychologic performance
and growth of Chinese children. Am. J. Clin.
Nutr. 68(2 ): S470−S475.
Sharma, M.C., S. Raju, C. Joshi, H. Kaur, and
V.P. Varshney. 2003. Studies on serum micromineral,
hormone and vitamin profile and
its effect on production and therapeutic
management of buffaloes in Haryana State
of India. Asian Aust. J. Anim. Sci. 16(4):
519−528.
Spears, J.W. 1999. Reevalution of the metabolic
essensiality of minerals. Asian Aust. J. Anim.
Sci. 12(6): 1.002−1.008.
Stangl, G.L., F.J. Schwarz, and M. Kirchgessner.
1999. Moderate longterm cobalt-deficiency
affects liver, brain and erythrocyte lipids
and lipoproteins of cattle. Nutr. Res. 19:
415−427.
Stangl, G.L., F.J. Schwarz, H. Muller, and M.
Kirchgessner. 2000. Evaluation of the cobalt
requirement of beef cattle based on vitamin
B12 folate, homocysteine and methylmalonic
acid. Br. J. Nutr. 84: 645−653.
Stuttle, N.E. 1989. Problems in the diagnosis
and anticipation of trace element deficiencies
in grazing livestock. Vet. Res. 119: 148−
152.
Tokarnia, C.H., J. Dobereiner, P.V. Peixoto, and
S.S. Moraes. 2000. Outbreak of copper poisoning
in cattle fed poultry litter. Vet. Hum.
Toxicol. 42(2): 92−95.
Yost, G.P., J.D. Arthington, L.R. McDowll, F.G.
Martini, N.S. Wilkinson, and C.K. Swenson.
2002. The effect of copper source and level
on the rate and extent of copper repletion
in Holstein heifers. J. Dairy Sci. 85(12):
3.297−3.303.
Brown, J.X., P.D. Buckest, and M.W. Resnick.
2004. Identification of small molecule
inhibitors that distinguish between nontransferrin
bound iron uptake and tranferrinmediated
iron transport. Chem. Biol. 11:
407−416.
Brown, K.H., J.M. Peerson, J. Rivera, and L.H.
Allen. 2002. Effect of supplemental zinc
on the growth and serum zinc concentrations
of prepubertal children: a meta-analysis of
randomized controlled trials. Am. J. Clin.
Nutr. 75: 1.062−1.071.
Chandra, R.K. 1985. Effect of macro- and
micro- nutrient deficiencies and excesses on
immune response. Food Tech. 39: 91.
Chung, J., D.J. Haile, and M.W. Resnick. 2004.
Ferroportin-1 is not upregulated in copperdeficient
mice. J. Nutr. 134: 517−521.
Clark, T.W., Z. Xin, R.W. Hemken, and R.J.
Harmon. 1993. A comparing copper sulphate
and copper oxide as copper sources for the
mature ruminant J. Dairy Sci. 76 (Suppl. 1):
318 (Abstr.).
Cook, J.D., R.D. Baynes, and B.S. Skikne. 1992.
Iron deficiency and the measurement of iron
status. Nutr. Res. Rev. 5: 189−202.
Darmono and S. Bahri. 1989. Defisiensi Cu dan
Zn pada sapi di daerah Transmigrasi Kalimantan
Selatan. Penyakit Hewan 21(38):
128−131.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi
Makhluk Hidup. Penerbit Universitas Indonesia
(UI Press). hlm. 55−56, 65−69.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran.
Hubungannya dengan Toksikologi
Senyawa Logam. Penerbit Universitas Indonesia
(UI Press). hlm. 109−111.
Davis, G.K. and W. Mertz. 1987. Copper. p. 301−
364. In W. Mertz (Ed.) Trace Elements in
Human and Animal Nutrition. Academic
Press, Inc. San Diego, CA.
Desousa, M. 1989. Immune cell functions in iron
overload. Clin. Exp. Immunol. 75: 1.
Dhur, A., P. Galan, and S. Hercberg. 1989. Iron
status, immune capacity, and resistance to
infections. Comp. Biochem. Phys. A-Comp.
Phys. 94: 11.
Eamens, G.J., J.F. Macadam, and E.A. Laing.
1984. Skeletal abnormalities in young horses
associated with zinc toxicity and hypocuprosis.
Aust. Vet. J. 61(7): 205−207.
Engle, T.E., V. Fellner, and J.W. Spear. 2001.
Copper status, serum, cholesterol, and milk
fatty acid profile in Holstein cows fed varying
concentrations of copper. J. Dairy Sci.
84(10): 2.308−2.313.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar